Desa Tanggung dulunya merupakan gabungan antar dua desa, yaitu desa Tanggung dan desa Glotan. Penggabungan tersebut terjadi pada tahun 1922 di bawah kepemimpinan Demang Sutodermo. Maka setelah penggabungan itu, wilayah Tanggung terdiri dari satu Krajan (Tanggung) dan tiga dusun yaitu Glotan, Kendit dan dusun Jatibanggi.
Ada pun legenda mengenai desa Tanggung, bahwa terjadinya kota Tulungagung dan desa Tanggung juga ada petilasannya, yaitu Ki Joko Bodo yang sekarang ini dikenal dengan nama Gunung Budeg.
Menurut sejarah, pada jaman kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya (Hayam Wuruk) memerintahkan putranya yang bernama Raden Lembu Peteng untuk pergi ke Bonorowo, berguru kepada seseorang dengan sebutan kiai Pacet. Namun pada saat itu, kiai Pacet punya murid yang bernama Adipati Kalang.
Singkat cerita, Adipati Kalang senang kepada saudara keponakannya yang bernama Nyai Roro Kembang Sore. Namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Adipati Kalang tidak menyerah, ia terus berusaha dan memaksa Nyai Roro Kembang Sore untuk mau menerima cintanya.
Nyai Roro Kembang Sore tetap menolak, hal tersebut membuat Adipati Kalang marah dan akhirnya Nyai Roro Kembang Sore lari ke arah selatan. Sampailah ia di rumah Mbok Rondo Dadapan. Mbok Rondo Dadapan mempunyai putra bernama Joko Bodo. Nyai Roro Kembang Sore melarikan diri lagi lalu Joko Bodo mengejarnya sampai ke pegunungan desa Tanggung.
Mengetahui Joko Bodo mengejar Nyai Roro Kembang Sore, mbok Rondo menyusul putranya tersebut, namun putranya, Joko Bodo bersembunyi di bawah pohon kepuh. Mbok Rondo memanggil-manggil putranya namun tidak ada jawaban. Akhirnya mbok Rondo berkata “dipanggil-panggil tapi tidak menjawab, seperti batu, apa kamu budeg?”
Akhirnya, saat itu pula Joko Bodo berubah menjadi batu, dan daerah tersebut sampai sekarang dikenal dengan dengan nama Gunung Budeg.